Saat ini konsep green logistik menjadi pilihan bagi sektor industri untuk melakukan pengiriman barang dikarenakan dapat mempermudah keberlanjutan dan keberpihakan dalam praktik logistik itu sendiri. Mengutip dari logee.id definisi green logistik adalah cara meminimalkan dampak lingkungan dan jejak karbon dari aktivitas logistik, seperti produksi, penyimpanan, pengemasan, sampai transportasi pengiriman. Beberapa manfaat green logistik terhadap bisnis perusahaan, diantaranya (Adelina & Rahmayanti, 2024):
- Meningkatkan kelangsungan usaha dan menghemat biaya (misalnya pengurangan konsumsi air, listrik, sumber daya produksi dan transportasi, peningkatan bahan yang dapat didaur ulang, penggunaan kemasan yang dapat dipakai ulang dan diintegrasikan kembali ke siklus produksi).
- Meningkatkan efisiensi kinerja perusahaan dan kualitas layanan dan indikator kinerja keuangan.
- Menarik investor baru (membuat perbedaan dengan kompetitor berkat kualitas dan ketahanan produk; menarik pasar baru dengan mengkomunikasikan penghijauan perusahaan).
Selain itu, terdapat juga beberapa manfaat penerapan green logistik terhadap lingkungan antara lain:
- Green logistik membantu meningkatkan pengolahan penggunaan sumber daya alam yang lebih wajar.
- Mengurangi risiko jangka panjang terkait dengan penipisan sumber daya, polusi, dan pengelolaan limbah.
- Meningkatkan pendapatan dan keuntungan melalui efisiensi operasional signifikan, pengurangan biaya, dan efisiensi sumber daya.
- Mengurangi limbah melalui pengurangan konsumsi material dan perubahan dalam metode pengemasan.
Salah satu contoh penerapan green logistik di Indonesia yaitu Terminal Teluk Lamong, yang merupakan green port pertama di Indonesia dan Asia mengutip dari sapx.id. Terminal Teluk Lamong tidak hanya menggunakan sistem penerangan dengan konsumsi energi rendah. Namun juga juga mengoperasikan truk-truk berbahan bakar gas yang ramah lingkungan. Efisiensi penggunaan energi yang rendah diharapkan berdampak positif terhadap biaya kepelabuhanan yang lebih efisien.
Dalam pelaksanaannya, pengoperasian model green logistik menuntut keterlibatan banyak pihak, salah satunya transportasi jalan. Pihak-pihak terkait tersebut terdiri dari:
- Produsen Armada yang merupakan pabrikan truk yang memproduksi kendaraan dengan teknologi rendah emisi.
- Kementerian Perindustrian berfungsi mengatur rancang bangun kendaraan bermotor.
- Kementerian Perhubungan, melakukan uji tipe dan uji emisi gas buang berkala pada kendaraan bermotor.
- Kementerian Lingkungan Hidup: Menetapkan ambang batas emisi gas buang.
- Kementerian ESDM: Mengembangkan spesifikasi bahan bakar yang ramah lingkungan.
- Penyedia dan Distributor Bahan Bakar: Mengatur produksi dan pendistribusian bahan bakar ramah lingkungan.
- Kepolisian: Menegakkan peraturan terkait emisi dan penggunaan bahan bakar.
Mengutip dari supplychainindonesia.com tentang masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) 2015, menyampaikan bahwa negara-negara ASEAN tidak bisa lagi menerapkan berbagai barrier untuk menghambat arus barang maupun jasa, termasuk jasa logistik. Namun, negara-negara ASEAN masih bisa “menghambat” arus masuk jasa logistik dari negara-negara ASEAN lainnya melalui isu green logistik. Sebagai contoh, sebuah negara ASEAN bisa menetapkan batasan emisi tertentu sebagai syarat/izin armada transportasi (truk) yang akan masuk ke negaranya. Tentu saja, truk-truk dari Indonesia dan negara-negara lainnya yang tingkat emisinya melebihi batas tidak akan bisa masuk ke negara tersebut.
Adapun permasalahan yang dihadapi oleh pelaku usaha pengiriman, di negara berkembang seperti Indonesia dalam menerapkan logistik ramah lingkungan yaitu ketersediaan terhadap kendaraan ramah lingkungan. Setiap kendaraan memiliki persyaratan emisi Euro yang berbeda di berbagai negara. Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2017, mulai tahun 2018 kendaraan bermotor di Indonesia wajib memenuhi tingkat emisi gas buang yang dikenal dengan Euro-4. Namun Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara tetangganya, seperti Vietnam yang telah menggunakan Euro-5 sejak tahun 2022, Singapura yang telah menggunakan Euro-5 sejak tahun 2014, dan Thailand yang akan beralih ke Euro-6 (Marilyn Winata, 2023).